Jakarta (PantauNews.co.id) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019 tercatat 5,02% year-on-year (YoY), laju terlemah sejak kuartal II-2017. Faktor eksternal yang kurang kondusif plus domestik yang kurang mendukung membuat pertumbuhan ekonomi domestik sulit untuk dipacu lebih cepat.
Dari sisi eksternal, indikator yang paling terlihat tentu ekspor. Pada kuartal III-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor barang dan jasa hanya tumbuh 0,02%. Jauh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang naik 8,08%.
Apa yang terjadi terhadap ekspor Indonesia juga dialami oleh negara lain. Organisasi Perdagangan Dunia memperkirakan pertumbuhan ekspor global tahun ini hanya 1,2%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada April yaitu 2,6%.
Situasi gloomy ini diperkirakan masih berlanjut pada 2020. WTO memprediksi pertumbuhan perdagangan dunia tahun depan adalah 2,7%, melambat dibandingkan perkiraan April yaitu 3%.
"Perlambatan perdagangan dunia memang mencemaskan, tetapi tidak mengejutkan. Friksi dagang membuat ketidakpastian semakin nyata yang membuat dunia usaha mengurangi produktivitas. Penciptaan lapangan kerja juga terancam karena dunia usaha tidak membutuhkan tambahan untuk memproduksi barang di level yang sekarang," papar Roberto Azevedo, Direktur Jenderal WTO, dalam keterangan tertulis.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini sudah terjadi lebih dari setahun terakhir.
Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi. Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.
Kala pengusaha di AS dan China mengurangi produksi, permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut turun. Padahal AS dan China adalah negara tujuan ekspor utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Inilah sebabnya ekspor Indonesia mengalami kontraksi selama 11 bulan beruntun.
Faktor eksternal juga mempengaruhi salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) adalah Penanaman Modal Tetap Bruto alias investasi. Pada kuartal III-2019, investasi hanya tumbuh 4,21%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,01% dan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 6,96%.
Laporan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) edisi Oktober 2019 menyebutkan, arus investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) secara global turun 20% pada paruh pertama 2019. Lagi-lagi perang dagang menjadi penyebabnya.
"Kondisi ini disebabkan oleh ketidakpastian di bidang perdagangan. Selain itu, insentif pajak di AS membuat perusahaan di sana memilih untuk menunda investasi di luar negeri," sebut laporan OECD.
Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah Melambat
Di luar faktor eksternal itu, situasi dalam negeri juga kurang mendukung ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 56,52% dari pembentukan PDB Indonesia, hanya tumbuh 5,01% pada kuartal III-2019. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17% dan menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2018.
Masalahnya, keyakinan konsumen di Indonesia semakin melemah. Bank Indonesia (BI) melaporkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober berada di 118,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Angka di atas 100 menandakan konsumen masih optimistis menghadapi kondisi perekonomian saat ini dan masa mendatang.
Namun IKK Indonesia menunjukkan penurunan yang konsisten dalam lima bulan terakhir. Bahkan angka Oktober merupakan yang terendah sejak Februari 2017.
Artinya, konsumen memang masih pede menghadapi situasi ekonomi saat ini dan masa mendatang. Namun optimisme itu memudar, terlihat dari rata-rata porsi pendapatan rumah tangga untuk konsumsi turun dari 68,8% pada September menjadi 68% pada Oktober. Porsi tabungan terhadap pendapatan naik dari 19,4% menjadi 19,8%.
Satu lagi adalah konsumsi pemerintah. Kondisinya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, belanja negara masih menumpuk pada akhir tahun.
Pada kuartal III-2019, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,98%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 8,25% dan periode tahun sebelumnya yaitu 6,27%.
Mengutip dokumen APBN Kita, belanja negara per akhir Agustus 2019 adalah Rp 1.383,33 triliun atau 56,4% dari pagu. Ini sebenarnya kurang sehat, karena belanja pemerintah hanya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi jelang akhir tahun.
Baca:Menkeu Belum Juga Rilis Realisasi APBN September, Kenapa?
Situasi global memang berat, gara-gara perang dagang ekspor dan investasi Indonesia terus menurun. Namun kurang bijak kalau kita menyalahkah kondisi global saja.
Faktor domestik, yang sebenarnya bisa dikendalikan oleh pemerintah dan otoritas lainnya, juga melambat. Andai konsumsi rumah tangga dan pemerintah bisa lebih baik, amat sangat mungkin sekali pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak 'cuma' 5,02%.
Dari sisi eksternal, indikator yang paling terlihat tentu ekspor. Pada kuartal III-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor barang dan jasa hanya tumbuh 0,02%. Jauh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang naik 8,08%.
Apa yang terjadi terhadap ekspor Indonesia juga dialami oleh negara lain. Organisasi Perdagangan Dunia memperkirakan pertumbuhan ekspor global tahun ini hanya 1,2%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada April yaitu 2,6%.
Situasi gloomy ini diperkirakan masih berlanjut pada 2020. WTO memprediksi pertumbuhan perdagangan dunia tahun depan adalah 2,7%, melambat dibandingkan perkiraan April yaitu 3%.
"Perlambatan perdagangan dunia memang mencemaskan, tetapi tidak mengejutkan. Friksi dagang membuat ketidakpastian semakin nyata yang membuat dunia usaha mengurangi produktivitas. Penciptaan lapangan kerja juga terancam karena dunia usaha tidak membutuhkan tambahan untuk memproduksi barang di level yang sekarang," papar Roberto Azevedo, Direktur Jenderal WTO, dalam keterangan tertulis.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini sudah terjadi lebih dari setahun terakhir.
Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi. Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.
Kala pengusaha di AS dan China mengurangi produksi, permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut turun. Padahal AS dan China adalah negara tujuan ekspor utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Inilah sebabnya ekspor Indonesia mengalami kontraksi selama 11 bulan beruntun.
Faktor eksternal juga mempengaruhi salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) adalah Penanaman Modal Tetap Bruto alias investasi. Pada kuartal III-2019, investasi hanya tumbuh 4,21%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,01% dan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 6,96%.
Laporan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) edisi Oktober 2019 menyebutkan, arus investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) secara global turun 20% pada paruh pertama 2019. Lagi-lagi perang dagang menjadi penyebabnya.
"Kondisi ini disebabkan oleh ketidakpastian di bidang perdagangan. Selain itu, insentif pajak di AS membuat perusahaan di sana memilih untuk menunda investasi di luar negeri," sebut laporan OECD.
Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah Melambat
Di luar faktor eksternal itu, situasi dalam negeri juga kurang mendukung ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 56,52% dari pembentukan PDB Indonesia, hanya tumbuh 5,01% pada kuartal III-2019. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17% dan menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2018.
Masalahnya, keyakinan konsumen di Indonesia semakin melemah. Bank Indonesia (BI) melaporkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober berada di 118,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Angka di atas 100 menandakan konsumen masih optimistis menghadapi kondisi perekonomian saat ini dan masa mendatang.
Namun IKK Indonesia menunjukkan penurunan yang konsisten dalam lima bulan terakhir. Bahkan angka Oktober merupakan yang terendah sejak Februari 2017.
Artinya, konsumen memang masih pede menghadapi situasi ekonomi saat ini dan masa mendatang. Namun optimisme itu memudar, terlihat dari rata-rata porsi pendapatan rumah tangga untuk konsumsi turun dari 68,8% pada September menjadi 68% pada Oktober. Porsi tabungan terhadap pendapatan naik dari 19,4% menjadi 19,8%.
Satu lagi adalah konsumsi pemerintah. Kondisinya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, belanja negara masih menumpuk pada akhir tahun.
Pada kuartal III-2019, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,98%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 8,25% dan periode tahun sebelumnya yaitu 6,27%.
Mengutip dokumen APBN Kita, belanja negara per akhir Agustus 2019 adalah Rp 1.383,33 triliun atau 56,4% dari pagu. Ini sebenarnya kurang sehat, karena belanja pemerintah hanya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi jelang akhir tahun.
Baca:Menkeu Belum Juga Rilis Realisasi APBN September, Kenapa?
Situasi global memang berat, gara-gara perang dagang ekspor dan investasi Indonesia terus menurun. Namun kurang bijak kalau kita menyalahkah kondisi global saja.
Faktor domestik, yang sebenarnya bisa dikendalikan oleh pemerintah dan otoritas lainnya, juga melambat. Andai konsumsi rumah tangga dan pemerintah bisa lebih baik, amat sangat mungkin sekali pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak 'cuma' 5,02%.
Sumber: CNBC Indonesia