Jakarta (PantauNews.co.id) - Subuh 1 Oktober 1965, 54 tahun silam, tidak pernah dilupakan istri dan anak-anak Jenderal Ahmad Yani. Saat itu mereka kehilangan sang panutan untuk selama-lamanya. Berondongan peluru Cakrabirawa menembus tubuh Menteri Panglima Angkatan Darat itu. Melepaskan ruh dari raga.
Saat peluru menembus kulit tubuhnya, Jenderal Yani masih sempat bertanya, "Bagaimana Bapak?" Maksudnya Bung Karno yang memang sangat dekat dengan Jenderal Yani.
Kata-kata terakhir Jenderal Yani itu diceritakan sang istri, Yayu Rulia Subandiah, dalam buku yang ditulisnya di tahun 1981, 'Ahmad Yani sebuah Kenang-kenangan'.
Pagi itu, seperti yang diceritakan Yayu, tepat pukul 04.25 WIB, rumah pribadi keluarga Ahmad Yani di Jalan Lembang Nomor 58, Jakarta, didatangi pasukan berpakaian Cakrabirawa dan pasukan lain yang tidak dikenal. "Anak buah eks Peltu Mukijan. Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Bapak Presiden," tulis Yayu (hal. 295).
Yayu sendiri saat itu tidak ada di rumah. Ia sedang bermalam di kediaman resmi Menteri Pangad di Jalan Taman Surapati karena sedang melakukan tirakat menyambut weton kelahirannya. Yayu menggambarkan peristiwa pilu yang membuat hidupnya porak poranda itu.
Menurut Yayu, Eddy, anaknya yang kedelapan pagi itu sudah bangun. Ia menuturkan, Irawan Sura Eddy lahir pada 4 Januari 1958. Waktu itu Eddy ditemani asisten rumah tangganya, Mbok Milah, ke luar rumah mencari ibunya.
Di pekarangan, mereka melihat banyak anggota Cakrabirawa dan pasukan tidak dikenal berkeliaran. Salah seorang di antara mereka menanyakan apakah Jenderal Yani ada di rumah atau tidak.
Mendapat jawaban Ahmad Yani ada di rumah dan masih tidur, Eddy, tulis Yayu, diminta membangunkan sang ayah dengan alasan dipanggil Presiden Sukarno untuk segera menghadap.
Eddy masuk ke dalam dan membangunkan ayahnya. Jenderal Yani masih mengenakan piyama berwarna biru. Seorang anggota militer yang belakangan diketahui bernama Raswad menghampiri dan mengatakan bahwa Jenderal Yani dipanggil Presiden. Ahmad Yani menyanggupi setelah mandi terlebih dahulu. Namun anggota penculik lain bernama Tumiran tiba-tiba mengatakan tidak perlu sebab di Istana Kepresidenan ada kamar mandi.
Jenderal Yani naik darah dan menempeleng Tumiran sampai jatuh. Ia lalu menutup pintu kaca yang menghubungkan ruang belakang dengan ruang makan. Saat itu Raswad memberikan isyarat kepada anggotanya Giyadi untuk menembak. Giyadi pun menumpahkan peluru thomsonnya. Peluru berhamburan menembus kaca dan mengenai tubuh Jenderal Yani. "Suamiku terjatuh memandang Untung anak kami yang ketujuh."
Untung hendak bergerak memeluk sang ayah, namun dilarang gerombolan penculik. Untung dan Eddy menangis dan kakak-kakaknya terbangun lalu membuka jendela.
Saat itu tubuh Jenderal Yani yang berlumuran darat diseret gerombolan penculik, Sugiyo, Dohlin dan Tumiran, sepanjang lorong ruang belakang. Sesampai di luar, tubuh Jenderal Yani disambut gerombolan Pemuda Rakyat. Jenderal Yani kemudian dimasukkan ke dalam bus Ikarus dan dibawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede.
"Pukul 05.00 pagi itu saya datang kembali di Jalan Lembang dari tirakatan. Mula-mula saya heran kenapa anak-anak sudah bangun sepagi itu? Kemudian kulihat Untung dan Eddy menangis, sedangkan Emmy dan Rully sambil menunjuk ke ruang belakang dan ke jalanan menceritakan kejadian pembunuhan dan penculikan yang tidak bertuhan itu kepadaku," tulis Yayu.
"Akhirnya kulihat cucuran darah. Darah Pak Yani, suamiku! Sekelilingku menjadi gelap. Gelap gulita. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan." Ketika sadarkan diri, Yayu sudah berada di tempat tidur.
Setelah sadar, Yayu mengambil baju sang suami untuk membersihkan cucuran darah. "Kemudian kuusapkan ke mukaku! Hatiku berdarah seperti baju Pak Yani yang berdarah ya Tuhan," tulis Yayu.
Subuh itu ternyata tidak hanya Jenderal Ahmad Yani saja yang dibunuh PKI. Pembunuhan dan penculikan juga dilakukan terhadap Deputi II Men/Pangad Mayjen TNI Suprapto, Deputi III Men/Pangad Mayjen TNI Haryono MT, Asisten I Men/Pangad Mayor Jenderal TNI S Parman, Asisten IV Men/Pangad Brigjen TNI DI Panjaitan, Irkehjen Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, Letnan Satu Czi Piere Tendean ajudan AH Nasution.
Ada pula Kolonel Infantri Katamso dan Letkol Sugiono, komandan dan wakil komandan Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta. Serta putri AH Nasution, Ade Irma Suryani. Para pembela Pancasila ini diganjar penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.
Sumber : Viva News